Pada 2045, penduduk Bumi diperkirakan mencapai sembilan miliar jiwa. Sanggupkah Bumi menyangga beban seberat itu?
Oleh ROBERT KUNZIG
Foto oleh RANDY OLSON
Pada suatu hari musim gugur 1677 di Delft, Belanda, Antoni van  Leeuwenhoek, saudagar kain yang konon berperan sebagai model berambut  panjang bagi dua lukisan karya Johannes Vermeer—lukisan “Ahli Astronomi”  dan “Ahli Geografi”—mendadak berhenti mencumbui istrinya dan tergesa  menuju meja kerjanya. Kain memang bidang usaha Leeuwenhoek, tetapi  mikroskopi adalah minatnya.
Dia sudah punya lima anak dari istri pertamanya (meskipun yang empat  orang meninggal saat masih bayi), dan bukan soal menjadi ayah yang  memenuhi pikirannya. “Sebelum enam kali denyutan,” (begitu yang dia  tulis kemudian kepada Royal Society of London) Leeuwenhoek memeriksa  sampel air maninya sendiri—zat yang mudah rusak itu—melalui kaca  pembesar yang kecil ukurannya. Lensanya, yang tidak lebih besar daripada  setetes kecil air hujan, dapat memperbesar benda sampai ratusan kali.  Kaca pembesar itu juga dia buat sendiri dan saat itu tak seorang pun  yang memiliki lensa sekuat lensa miliknya.
Pada masa itu, para cendekiawan di London masih berusaha meneliti  keabsahan klaim Leeuwenhoek sebelumnya yang menyatakan bahwa jutaan  “animalkul” (animalcules, istilah Leewenhoek bagi mikroorganisma) yang  tidak kasat mata hidup dalam setetes air danau dan bahkan dalam setetes  anggur Prancis. Di hari itulah Leewenhoek memiliki satu hal lain yang  lebih rumit untuk dilaporkan. Yaitu, air mani manusia juga mengandung  animalkul. “Kadang lebih dari seribu dalam sejumput materi yang  ukurannya sebesar satu butir pasir,” tulis Leewenhoek.
Sambil menempelkan kaca pembesar ke matanya seperti seorang pandai  perhiasan, Leeuwenhoek melihat animalkul miliknya berenang-renang sambil  mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang. Bayangkan cahaya matahari  menerobos melalui kerai kaca jendela, berlabuh di wajah yang tercenung,  seperti pada lukisan Vermeers. Sungguh kasihan sang istri.
Setelah itu, Leeuwenhoek menjadi agak terobsesi. Lubang intipnya yang  sangat kecil itu memberi Leewenhoek hak istimewa dalam mengakses dunia  mikroskopik yang belum pernah dilihat orang lain dan dia menghabiskan  banyak sekali waktu mengamati spermatozoa, itulah nama yang kita gunakan  sekarang. Namun yang sungguh terasa ganjil, justru cairan mani yang dia  peras dari seekor ikan cod-lah yang kemudian mengilhaminya untuk  menaksir, hampir secara sambil lalu, berapa banyak manusia bisa menghuni  Bumi.
Tidak seorang pun paham apa yang Leewenhoek maksudkan, antara lain  karena belum banyak sensus dilakukan pada waktu itu. Leeuwenhoek  memulainya dengan taksiran bahwa sekitar satu juta orang tinggal di  Belanda. Dengan menggunakan peta dan sedikit ilmu geometri bidang  lengkung, dia menghitung bahwa kawasan daratan yang berpenghumi di Bumi  luasnya 13.385 kali luas Belanda. Waktu itu sungguh sulit membayangkan  Bumi yang seluruhnya sepadat negeri Belanda, yang bahkan di masa itu pun  sepertinya sudah sangat padat.
Jadi, Leeuwenhoek menyimpulkan dengan penuh rasa kemenangan, Bumi tidak  mungkin dihuni lebih dari 13.385 miliar orang—jumlah yang kecil jika  dibandingkan dengan 150 miliar sel sperma yang menghuni seekor ikan cod!  Hasil perhitungan yang riang gembira tersebut, begitu tulis ahli  biologi populasi Joel Cohen dalam bukunya How Many People Can the Earth  Support?, mungkin merupakan upaya pertama yang memberikan jawaban  kuantitatif terhadap pertanyaan yang kini kian mengecilkan hati jika  dibandingkan pada masa abad ke-17. Pasalnya, kebanyakan jawaban di masa  sekarang ini sama sekali tidak menggembirakan.
Kini para ahli sejarah memperkirakan bahwa di masa Leeuwenhoek hanya ada  sekitar setengah miliar manusia di Bumi. Saat itu, jumlah manusia baru  saja melesat setelah peningkatan yang sangat lambat selama ribuan tahun.  Satu setengah abad kemudian, ketika penemuan sel telur manusia  dilaporkan, penduduk dunia telah bertambah lebih dari dua kali lipat  menjadi lebih dari satu miliar jiwa. Satu abad setelah itu, sekitar  1930, jumlah manusia kembali berlipat dua menjadi dua miliar. Akselerasi  pertambahan sejak itu sungguh mencengangkan. Sebelum abad ke-20, belum  pernah ada manusia yang di masa hidupnya menyaksikan penduduk Bumi  bertambah dua kali lipat, padahal banyak orang yang hidup sekarang  menyaksikan jumlah manusia bertambah sampai tiga kali lipat. Kelak di  akhir 2011, menurut Divisi Populasi PBB, akan ada tujuh miliar manusia.
Ledakan penduduk itu sama sekali belum usai, meski kini tengah melambat.  Penyebabnya bukan saja karena manusia hidup lebih lama, tetapi karena  banyak sekali perempuan di seluruh dunia yang sekarang ini berada dalam  usia subur—1,8 miliar—sehingga penduduk dunia bakal terus tumbuh  setidaknya selama beberapa dasawarsa mendatang. Hal itu akan berlangsung  meski setiap perempuan memiliki lebih sedikit anak dibandingkan dengan  satu generasi yang lalu. Pada 2050 jumlah total manusia bisa mencapai  10,5 miliar atau mungkin juga berhenti di angka delapan  miliar—perbedaannya ada pada satu anak per seorang perempuan. Para ahli  demografi PBB menganggap angka di tengah-tengah merupakan perkiraan  terbaik: mereka sekarang memperkirakan penduduk Bumi dapat mencapai  sembilan miliar sebelum 2050—pada 2045. Angka akhir akan bergantung pada  pilihan masing-masing pasangan ketika mereka melakukan kegiatan  antarmanusia yang paling intim itu, kegiatan yang secara serampangan  dihentikan Leeuwenhoek demi ilmu pengetahuan.
Dengan penduduk yang masih terus bertambah sekitar 80 juta jiwa per  tahun, sulit rasanya untuk tidak merasa prihatin. Saat ini di Bumi, air  tanah harus dicari semakin dalam, tanah terus terkikis, gletser terus  meleleh, dan jumlah ikan kian menyusut. Hampir satu miliar orang  kelaparan setiap hari. Beberapa puluh tahun dari sekarang, mungkin akan  ada dua miliar manusia yang butuh makan, kebanyakan di negara miskin.  Akan makin banyak orang, dalam jumlah miliaran, yang ingin dan layak  mengentaskan diri dari kemiskinan. Jika mereka mengikuti jalan yang  dirintis oleh negara kaya—membuka hutan, membakar batubara dan minyak,  dengan bebas menebarkan pupuk dan pestisida—mereka pun akan memanfaatkan  habis-habisan sumber daya alam planet ini. Bagaimanakah caranya untuk  mendapatkan makanan?
Mungkin agak melegakan hati saat mengetahui bahwa sesungguhnya sudah  lama orang mengkhawatirkan masalah populasi. Beberapa di antara tulisan  awal tentang demografi ditulis oleh Sir William Petty, pendiri Royal  Society, hanya beberapa tahun setelah penemuan Leeuwenhoek. Dia  memperkirakan, penduduk dunia akan tumbuh 12 kali lipat menjelang hari  kiamat yang diperkirakan sekitar 2000 tahun lagi. Pada sat itu jumlah  manusia akan lebih dari 20 miliar—lebih dari yang bisa diberi makan oleh  Bumi. “Dan, menurut ramalan Alkitab, pasti ada peperangan, pembantaian  besar-besaran, dan sebagainya,” begitu tulis Petty. Memang sejak awal,  begitu dikatakan ahli demografi asal Prancis HervĂ© Le Bras, demografi  terperosok dalam diskusi perihal “hari akhir”.
Di saat ramalan agama tentang akhir dunia mulai mereda, Le Bras  menyatakan, persoalan pertumbuhan penduduk saja sudah memunculkan  mekanisme semu tentang kiamat. “Hal tersebut mengkristalkan ketakutan  purba dan mungkin harapan purba tentang hari akhir,” tulis Le Bras. Pada  1798, pendeta Inggris yang juga ahli ekonomi Thomas Malthus  mengemukakan hukum populasinya: populasi memang perlu tumbuh lebih cepat  daripada pertumbuhan pasokan pangan, sampai perang, penyakit, dan wabah  kelaparan tiba untuk mengurangi jumlah manusia. Kenyataannya, wabah  cukup besar yang menurunkan populasi manusia secara signifikan sudah  pernah terjadi saat Malthus menuliskan pendapatnya. Sejak peristiwa  Kematian Hitam di abad ke-14 itu, penduduk dunia belumlah lagi  berkurang, begitu menurut para ahli sejarah.
Dalam kurun dua abad setelah Malthus mengumumkan bahwa populasi tidak  mungkin terus tumbuh pesat, justru yang sebaliknyalah yang terjadi.  Prosesnya dimulai di kawasan yang sekarang kita sebut sebagai negara  maju, yang saat itu tengah berkembang. Penyebaran hasil bumi dari benua  Amerika seperti jagung dan kentang, sejalan dengan ditemukannya pupuk  kimia, membantu mengakhiri wabah kelaparan di Eropa. Kota-kota yang  terus berkembang pada mulanya masih tetap merupakan kawasan kumuh  penyebar penyakit, tetapi sejak pertengahan abad ke-19, saluran  pembuangan mulai mengalirkan limbah manusia menjauhi sumber air minum  yang kemudian disaring dan diklorinasi; hal itu secara dramatis  mengurangi penyebaran kolera dan tifus.
Selanjutnya, pada 1798, tahun yang sama saat Malthus menerbitkan  tulisannya yang membuat pesimistis, rekan senegaranya Edward Jenner  memperkenalkan vaksin untuk cacar air—yang pertama dan yang terpenting  dalam serangkaian vaksin dan antibiotika yang, di samping nutrisi dan  sanitasi yang lebih baik, menggandakan harapan hidup di Negara-negara  maju, dari 35 tahun menjadi 77 tahun saat ini. Hanya orang berpandangan  pesimis sajalah yang melihat kecenderungan itu sebagai sesuatu yang  suram: “Perkembangan ilmu kedokteran ibarat akhir dari rangkaian  peristiwa dan menjadi awal munculnya malapetaka,” tulis Paul Ehrlich,  ahli biologi dari Stanford, pada 1968.
Buku Ehrlich, The Population Bomb, membuatnya menjadi pendukung Malthus  modern yang paling terkenal. Pada 1970-an, Ehrlich meramalkan, “ratusan  juta orang akan mati kelaparan,” dan sudah terlambat untuk  menanggulanginya. “Kanker pertumbuhan penduduk … harus dibuang,” tulis  Ehrlich, “dengan cara paksa jika secara sukarela tidak berhasil.” Masa  depan Amerika Serikat benar-benar menghadapi risiko. Meski buku itu  ditulis dengan gaya bahasa yang seperti itu—atau mungkin justru karena  gaya bahasanya yang seperti itu—buku tersebut menjadi laris, sebagaimana  juga buku Malthus dahulu. Kali ini pun bom tersebut tidak meledak.  Revolusi hijau—kombinasi antara benih tanaman unggul, irigasi,  pestisida, dan pupuk yang berhasil melipatgandakan hasil panen  biji-bijian—sudah digunakan. Dewasa ini memang banyak orang menderita  malagizi, tetapi wabah kelaparan besar-besaran jarang terjadi.
Hanya saja, Ehrlich juga benar ketika menyatakan bahwa populasi akan  membengkak di saat ilmu kedokteran berhasil menyelamatkan hidup banyak  orang. Setelah Perang Dunia II, Negara berkembang mendadak menerima  banjir bantuan kesehatan, atas bantuan sejumlah lembaga seperti WHO dan  UNICEF. Penisilin, vaksin cacar, DDT (yang, meski kemudian menjadi  kontroversial, berhasil menyelamatkan jutaan jiwa dari kematian akibat  malaria)—semuanya tiba serentak pada waktu yang bersamaan.
Di India, harapan hidup meningkat dari 38 tahun pada 1952 menjadi 64  saat ini; di Cina, dari 41 menjadi 73. Jutaan orang di negara berkembang  yang semula cenderung meninggal saat masih anak-anak sekarang bisa  bertahan hidup sampai mereka bisa melahirkan anak sendiri. Itulah  sebabnya mengapa ledakan penduduk menyebar ke seluruh Bumi: karena  banyak sekali orang selamat dari kematian. Juga karena pada kurun waktu  tertentu kaum perempuan melahirkan banyak sekali anak. Di Eropa pada  abad ke-18 atau di Asia pada awal abad ke-20, ketika perempuan rata-rata  punya enam orang anak, itu dilakukan sebagai pengganti dirinya dan  pasangannya. Sebab, kebanyakan dari anak-anak itu tidaklah pernah  mencapai usia dewasa.
Ketika angka kematian anak menurun, pasangan suami-istri pun memiliki  lebih sedikit anak—tetapi umumnya, transisi ini paling tidak memakan  waktu satu generasi. Dewasa ini di negara maju, angka kelahiran  rata-rata 2,1 anak per seorang perempuan dapat membuat populasi ajeg; di  dunia berkembang, angka tersebut agak sedikit lebih besar. Hanya saja  dalam kurun waktu yang dibutuhkan agar angka kelahiran mencapai  keseimbangan dengan angka kematian, jumlah penduduk bakal telah  meningkat dengan pesat.
Para ahli demografi menamakan evolusi tersebut dengan transisi  demografi. Semua negara mengalami hal itu pada waktunya masing-masing.  Ini merupakan ciri khas proses kemajuan umat manusia: di negara yang  sudah menyelesaikan transisinya, warganya berhasil mengambil-alih dari  alam sekurang-kurangnya kendali atas kematian dan kelahiran. Ledakan  penduduk dunia adalah efek samping yang tak terelakkan, efek samping  yang begitu besar yang menyebabkan sebagian orang merasa tidak yakin  bahwa peradaban kita akan mampu bertahan. Namun, laju pertumbuhan sudah  mencapai puncaknya seperti yang diperingatkan Ehrlich. Pada awal  1970-an, angka kesuburan di seluruh dunia mulai menurun lebih cepat  daripada yang diperkirakan orang sebelumnya. Sejak itu, laju pertumbuhan  penduduk pun menurun lebih dari 40 persen.
Menurunnya angka kelahiran yang sekarang melanda dunia dimulai pada  waktu yang berbeda di tiap negara. Prancis adalah salah satu negara yang  paling awal mengalaminya. Pada awal abad ke-18, kaum perempuan ningrat  Prancis tetap menikmati hubungan seksual tanpa berdampak pada mengandung  lebih dari dua anak. Mereka sering mengandalkan metode sama yang  digunakan Leeuwenhoek untuk penelitiannya: sanggama terputus. Arsip  gereja di pedesaan menunjukkan bahwa kecenderungan ini merebak hingga ke  penduduk desa pada akhir abad ke-18; pada akhir abad ke-19, angka  kelahiran di Prancis menurun menjadi tiga anak per seorang  perempuan—tanpa bantuan alat kontrasepsi modern. Inovasi utamanya  bersifat konseptual, bukan kontraseptif, kata Gilles Pison dari Lembaga  Nasional untuk Kajian Kependudukan di Paris. Sebelum abad Pencerahan,  “jumlah anak yang kaumiliki adalah takdir Tuhan. Orang belum mengerti  bahwa jumlah anak bisa mereka tentukan.”
Negara Barat lainnya pada akhirnya meneladani Prancis. Pada awal Perang  Dunia II, angka kelahiran menurun sampai mendekati angka kematian di  sebagian Eropa dan AS. Kemudian, setelah terjadinya lonjakan angka  kelahiran sesaat yang mencengangkan yang dikenal sebagai baby boom di  AS, terjadi penurunan tajam yang lagi-lagi mengejutkan para ahli  demografi. Mereka berasumsi bahwa ada naluri yang menyebabkan kaum  perempuan tetap melahirkan jumlah anak yang cukup untuk memastikan  penyintasan spesies manusia. Alih-alih, di negara maju angka kelahiran  menurun sampai di bawah angka kematian. Pada akhir 1990-an di Eropa,  angka tersebut turun sampai di bawah 1,4. “Bukti yang saya pahami benar,  yang sifatnya jenaka, adalah bahwa kaum perempuan sama sekali tidak  peduli perihal penyintasan spesies,” kata Joel Cohen.
Akhir suatu periode ledakan penduduk atau baby boom dapat memberikan dua  dampak besar dalam bidang ekonomi suatu negara. Yang pertama adalah  “keuntungan demografi”—beberapa dasawarsa yang indah ketika penduduk  yang dilahirkan saat masa ledakan tersebut memperbesar angkatan kerja  dan jumlah orang muda, sementara orang tua yang tidak bekerja relatif  sedikit sehingga terdapat banyak dana untuk memenuhi keperluan lain.  Kemudian, dampak kedua menyentak: Penduduk yang dilahirkan di periode  ledakan tersebut mulai memasuki masa pensiun. Hal yang semula dipandang  sebagai tatanan demografi yang mapan ternyata harus berakhir. Perdebatan  sengit di Amerika tentang Jaminan Sosial serta pemogokan tahun lalu di  Prancis tentang peningkatan usia pensiun merupakan reaksi terhadap  masalah yang ada di seluruh kawasan negara maju: bagaimana mendukung  populasi yang beranjak tua. “Pada 2050, apakah terdapat cukup banyak  orang yang bekerja sehingga tersedia dana untuk membayar uang pensiun?”  tanya Frans Willekens, direktur Institut Demografi Interdisipliner  Belanda di Den Haag. “Jawabannya tidak.”
Negara maju perlu waktu beberapa generasi untuk menurunkan angka  kelahiran hingga menyamai atau lebih rendah dari angka kematian. Saat  transisi yang sama berlangsung di kawasan lainnya, para ahli demografi  tercengang karena betapa jauh lebih cepatnya hal itu terjadi. Meski  penduduknya terus tumbuh, China yang dihuni oleh seperlima penduduk  dunia sudah berhasil menurunkan angka kelahiran sampai di bawah angka  kematian dan hal itu sudah berlangsung selama hampir 20 tahun, antara  lain berkat kebijakan paksa satu-anak yang diterapkan pada 1979;  perempuan China yang rata-rata masih punya enam anak pada 1965, sekarang  hanya punya 1,5. Di Iran, dengan dukungan penguasa Islam, angka  kelahiran turun lebih dari 70 persen sejak awal 1980-an. Di Brasil yang  demokratis dan penduduknya penganut Katolik, kaum perempuan berhasil  menurunkan angka kesuburan menjadi tinggal separuhnya dalam tempo  seperempat abad. “Kami masih belum memahami benar mengapa angka  kelahiran menurun begitu cepat di begitu banyak masyarakat, di begitu  banyak budaya dan agama. Ini benar-benar mencengangkan,” kata Hania  Zlotnik, direktur Divisi Kependudukan PBB.
“Pada saat ini, meskipun saya ingin bisa mengatakan bahwa masih ada  masalah tingginya angka kelahiran, hal itu hanya dialami oleh 16 persen  penduduk dunia, kebanyakan di Afrika,” kata Zlotnik. Di Sahara Selatan,  angka kelahiran memang masih tetap lima anak per seorang perempuan,  sementara di Niger tujuh. Akan tetapi, 17 negara di wilayah itu masih  memiliki harapan hidup 50 tahun atau kurang; mereka baru memulai  transisi demografi. Namun, di kebanyakan bagian dunia yang lain, ukuran  keluarga menyusut secara dramatis. PBB memperkirakan dunia akan mencapai  keseimbangan angka kelahiran-kematian pada 2030. “Keseluruhan penduduk  dunia sedang berada dalam jalur menunju kestabilan—dan ini berarti kabar  baik,” ujar Zlotnik.
Kabar buruknya adalah bahwa 2030 hanya tinggal dua dasawarsa lagi dan  bahwa pada saat itu generasi remaja—yang terbesar dalam sejarah—akan  memasuki masa subur. Bahkan seandainya pun setiap perempuan di masa itu  hanya punya dua anak, populasi bakal melesat menurut momentumnya sendiri  yang akan berlangsung selama sekitar seperempat abad. Apakah bencana  besar akan segera terjadi, atau apakah orang di masa itu akan bisa hidup  secara manusiawi dengan cara yang tidak merusak lingkungan? Satu hal  yang sudah pasti: hampir seperenam dari penduduk dunia pada masa itu  tinggal di India.
Secara intelektual, saya sudah lama memahami soal ledakan penduduk.  Secara emosional, saya memahaminyapada suatu malam yang panas di Delhi  dua tahun silam … Suhu udara jauh di atas 100 [sekitar 40 derajat  Celsius] dan udara dipenuhi debu dan asap. Jalanan tampak hidup oleh  manusia yang lalu-lalang. Orang sedang makan, orang sedang mencuci,  orang sedang tidur. Orang bertamu, berdebat, dan berteriak. Orang  mengulurkan tangan melalui jendela taksi, mengemis. Orang buang air  besar dan kecil. Orang bergelantungan di bus. Orang menggembalakan  ternak. Orang, orang, orang, orang.—Paul Ehrlich
Pada 1966 itu, ketika Ehrlich tengah naik taksi, penduduk India  berjumlah setengah miliar jiwa. Sekarang jumlahnya 1,2 miliar. Penduduk  Delhi bahkan bertambah lebih cepat lagi, menjadi sekitar 22 juta karena  gelombang pendatang membanjir dari kota kecil serta pedesaan, dan  semuanya menjejali kawasan “kota gubug” yang terus membengkak itu. Awal  Juni silam di kota panas yang berbau busuk tersebut, musim hujan belum  tiba untuk membasuh debu dari daerah pembangunan yang tak terhitung  banyaknya, yang hanya menambah banyak debu yang berhembus dari gurun  Rajasthan. Di jalan-jalan raya baru yang terbagi dua, yang menggiring  orang memasuki kota tak terencana itu, gerobak sapi berjalan ke arah  yang salah di jalur cepat. Keluarga-keluarga yang terdiri atas empat  orang meluncur di atas sepeda motor, selendang perempuan berkibar-kibar  seperti bendera, anak balita bergelantungan di lengan ibunya. Keluarga  yang terdiri atas belasan orang berdesakan seperti ikan sarden di dalam  bemo berwarna kuning-hitam yang berisik, yang dirancang untuk dua  penumpang. Di jalanan yang macet, pengemis berkaki satu dan anak kecil  bertubuh kurus kering meratap-ratap meminta derma. Delhi masa kini  tumbuh berbeda dengan kota yang pernah dikunjungi Ehrlich, namun juga  boleh dikatakan tetap sama.
Di Rumah Sakit Lok Nayak, di tepi jalanan kecil kawasan yang semrawut  dan padat manusia yakni Old Delhi, gelombang manusia mengalir memasuki  gerbang setiap pagi dan kerumunan orang memenuhi lantai lobi. “Siapakah  yang menyaksikan ini yang tidak mengkhawatirkan populasi India?” tanya  dokter bedah Chandan Bortamuly di suatu siang sambil berjalan menuju  klinik vasektomi. “Populasi adalah masalah kami yang terbesar.” Sambil  melepaskan gembok dari pintu klinik, Bortamuly melangkah masuk ke kamar  operasi yang kecil. Di dalamnya, dua lelaki berbaring terlentang di  tempat tidur untuk diperiksa, buah zakar mereka menonjol di atas lubang  pada kain berwarna hijau. Kipas angin di langit-langit mengembuskan  udara sejuk dari dua unit AC di kamar.
Bortamuly berada di garis depan pertempuran yang sudah berlangsung di  India selama hampir 60 tahun. Pada 1952, hanya lima tahun setelah meraih  kemerdekaannya dari Inggris, India menjadi negara pertama yang  menetapkan kebijakan pengendalian penduduk. Sejak itu, pemerintah India  telah berkali-kali menetapkan sasaran yang ambisius—dan berulang kali  pula gagal memenuhinya. Kebijakan nasional yang dianut pada 2000  menargetkan India mencapai angka kelahiran 2,1 pada 2010 dan ternyata  target tersebut tidak akan tercapai setidaknya satu dasawarsa lagi.  Dalam proyeksi moderat yang disampaikan PBB, penduduk India akan  meningkat hingga lebih dari 1,6 miliar pada 2050. “Yang tak terelakkan  adalah bahwa India akan melebihi China pada 2030,” kata AR Nanda, mantan  kepala Yayasan Kependudukan India, sebuah kelompok penasihat. “Hanya  malapetaka besar, bencana nuklir, dan sejenis itu sajalah yang dapat  mengubahnya.”
Sterilisasi adalah bentuk pengendalian kelahiran yang dominan di India  dewasa ini dan sebagian besar dilaksanakan terhadap kaum perempuan.  Pemerintah sedang berusaha mengubah hal tersebut; vasektomi tanpa pisau  bedah memerlukan biaya jauh lebih kecil dan lebih mudah dilakukan pada  lelaki dibandingkan dengan pengikatan saluran Fallopia pada perempuan.  Di kamar operasi, Bortamuly bekerja dengan cepat. “Tusukan jarum rasanya  seperti gigitan semut,” dia menjelaskan ketika pasien pertama meringis  saat disuntik obat anestetik lokal. “Setelah itu, boleh dikatakan  tindakan pembedahan ini tidak terasa sakit dan tidak berdarah.” Dengan  menggunakan ujung runcing alat tang, Bortamuly membuat lubang kecil di  kulit skrotum, lalu menarik saluran vas deferens berupa tali putih  berbentuk huruf U—saluran sperma dari buah zakar kanan si pasien. Dia  mengikat kedua ujung tali berbentuk U itu dengan benang hitam halus,  memotong kedua ujung itu, lalu memasukkannya kembali ke bawah kulit.  Dalam waktu kurang dari tujuh menit—seorang perawat mencatat  waktunya—pasien sudah berjalan keluar ruangan tanpa dipasangi apa-apa,  bahkan juga tidak perlu diplester dengan tensoplas. Pemerintah akan  member si pasien insentif sebesar 1.100 rupee (sekitar Rp250.000), upah  seminggu yang biasa diterima seorang buruh.
Pemerintah India pernah menggalakkan vasektomi ketika kecemasan akan  ledakan penduduk tengah memuncak pada 1970-an. Perdana Menteri Indira  Gandhi dan putranya Sanjay menggunakan dekrit  negara-dalam-keadaan-darurat untuk memaksakan peningkatan dramatis dalam  pelaksanaan sterilisasi. Dari 1976 hingga 1977 jumlah operasi tersebut  berlipat tiga, mencapai lebih dari delapan juta. Lebih dari enam juta di  antaranya adalah vasektomi. Petugas program keluarga berencana ditekan  untuk memenuhi kuota; di beberapa negara bagian, sterilisasi menjadi  persyaratan untuk menerima rumah baru atau tunjangan pemerintah lainnya.  Dalam beberapa kasus, polisi cukup mengumpulkan orang miskin dan  menggiring mereka ke klinik sterilisasi. Tindakan yang berlebihan itu  menyebabkan seluruh konsep keluarga berencana menyandang nama buruk.  “beberapa pemerintahan selanjutnya tidak mau menyentuh perkara itu  lagi,” ujar Shailaja Chandra, mantan ketua National Population  Stabilisation Fund (NPSF). Namun, tetap saja angka kelahiran di India  menurun, meski tidak secepat di Cina yang menukik sangat tajam bahkan  sebelum kebijakan satu-anak yang kejam itu dilaksanakan. Angka rata-rata  nasional di India sekarang adalah 2,6 anak per seorang perempuan,  penurunan lebih dari 50 persen jika dibandingkan saat kunjungan Ehrlich  dulu. Bagian selatan negara itu dan beberapa negara bagian di sebelah  utara sudah berhasil mencapai angka keseimbangan atau lebih kecil lagi.
Di Kerala, pesisir barat daya India, investasi dalam bidang kesehatan  dan pendidikan ikut menurunkan angka kelahiran hingga mencapai 1,7.  Kuncinya, begitu kata para ahli demografi di sana, adalah angka melek  huruf kaum perempuan: angkanya sekitar 90 persen, jelas yang tertinggi  di India. Anak gadis yang bersekolah mulai melahirkan anak di usia yang  lebih matang dibandingkan dengan anak gadis yang tidak bersekolah.  Mereka lebih mudah menerima kontrasepsi dan cenderung lebih memahami  pilihan mereka tentang metode keluarga berencana.
Sampai sejauh ini pendekatan tersebut, yang disajikan sebagai model di  ajang internasional, belum populer di sejumlah negara bagian di India  utara—di kawasan “sabuk Hindi” yang terentang melintasi negeri, tidak  jauh di selatan Delhi. Hampir separuh pertumbuhan penduduk India terjadi  di Rajasthan, Madhya Pradesh, Bihar, dan Uttar Pradesh, dan di kawasan  itu angka kelahiran masih bertengger antara tiga dan empat anak per  seorang perempuan. Lebih dari separuh perempuan di kawasan sabuk Hindi  buta huruf dan banyak yang sudah menikah saat usianya masih jauh di  bawah usia yang sah untuk menikah, yakni 18 tahun. Mereka meraih status  sosial dengan memiliki anak—dan tidak berhenti sampai memiliki  sekurang-kurangnya seorang anak lelaki.
Sebagai alternatif model Kerala, ada yang menunjuk ke negara bagian  Andhra Pradesh di selatan; di sana “tenda” sterilisasi—kamar operasi  darurat yang sering dibangun di sekolah-sekolah—diperkenalkan pada  1970-an dan angka sterilisasi masih tetap tinggi ketika rumah sakit yang  kemudian diperbaiki menggantikan tenda sterilisasi. Dalam kurun waktu  satu dasawarsa yang dimulai pada awal 1990-an, angka kelahiran mulai  turun dari sekitar tiga menjadi kurang dari dua. Tidak seperti di  Kerala, separuh dari semua perempuan di Andhra Pradesh tetap buta huruf.
Amarjit Singh, direktur pelaksana NPSF saat ini, memperhitungkan bahwa  jika keempat negara bagian terbesar di sabuk Hindi menerapkan model  Andhra Pradesh, mereka bisa menepis 40 juta kelahiran—dan penderitaan  yang berat. “Karena 40 juta bayi dilahirkan, 2,5 juta anak meninggal,”  ujar Singh. Menurut pendapatnya, jika seluruh India melaksanakan program  bermutu tinggi untuk menggalakkan sterilisasi, di rumah sakit dan bukan  di tenda, penduduk negara itu bisa berjumlah 1,4 miliar jiwa pada 2050.  bukan 1,6 miliar.
Para pengecam model Andhra Pradesh, misalnya Nanda dari Yayasan  Kependudukan, mengatakan bahwa warga India memerlukan perawatan  kesehatan yang lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Mereka menentang  target angka yang menekan pegawai negeri untuk mensterilisasi orang  atau insentif uang tunai yang mendistorsi pilihan suami-istri tentang  jumlah anak. “Itu adalah keputusan pribadi,” kata Nanda.
Di sejumlah kota di India dewasa ini, banyak pasangan suami istri  mengambil pilihan yang sama dengan rekan mereka di Eropa atau Amerika.  Sonalde Desai, pejabat senior di New Delhi’s National Council of Applied  Economic Research, memperkenalkan saya kepada lima wanita karier di  Delhi yang menghabiskan sebagian besar gaji mereka untuk membayar uang  sekolah swasta dan guru les; masing-masing punya satu atau dua anak dan  tidak berencana punya anak lagi. Dalam survei nasional terhadap 41.554  rumah tangga, tim Desai mengidentifikasi kelompok kecil perintis yang  semakin membesar, yang terdiri atas sejumlah keluarga beranak tunggal.  “Kami benar-benar tercengang menyaksikan tekanan yang dibebankan para  orang tua ini kepada anak mereka,” katanya. “Tiba-tiba saja kita jadi  mengerti—itulah sebabnya angka kelahiran menurun.” Anak-anak India  rata-rata berpendidikan lebih baik dibandingkan dengan orang tua mereka.
Hal seperti itu tidak dijumpai di pinggiran kota. Bersama tim Desai saya  mengunjungi Palanpur, sebuah desa di Uttar Pradesh—sebuah negara bagian  di kawasan sabuk Hindi yang jumlah penduduknya sama dengan penduduk  Brasil. Ketika berjalan memasuki desa itu, kami melewati menara ponsel,  tetapi juga selokan pembuangan limbah yang mengalir di sepanjang jalur  rumah-rumah bata yang kecil. Di bawah pohon mangga, tukang bersih semak  belukar mengatakan, dia tidak melihat alasan untuk menyekolahkan ketiga  anak perempuannya. Di bawah pohon nimba (Azadirachta indica) di tengah  desa, saya menanyai belasan orang petani tentang hal terbaik apakah yang  bisa memperbaiki kehidupan mereka. “Kalau ada yang mau memberi kami  uang, pasti menyenangkan,” kata salah seorang dengan bercanda.
Sasaran di India seharusnya jangan berupa menurunkan angka kelahiran  atau populasi, begitu kata Almas Ali dari Yayasan Kependudukan, ketika  saya bercakap-cakap dengannya beberapa hari kemudian. “Sasarannya  seharusnya membuat pedesaan layak huni,” ujarnya. “Setiap kali kita  berbicara tentang populasi di India, bahkan juga sekarang, yang pertama  kali terpikirkan adalah angka yang terus meningkat. Dan angka ini  dilihat dengan perasaan cemas. Sifat fobia ini sudah menerobos pola  pikir sedemikian rupa sehingga terpusat pada cara menurunkan angka ini.  Pusat perhatian pada manusianya sudah tersingkirkan.”
Lama perjalanan pulang ke Delhi dari Palanpur adalah empat jam, melalui  malam pasar pada suatu hari Minggu. Kami terjebak dalam kemacetan dari  kota pasar yang satu ke kota pasar yang lain, masing-masing disibukkan  oleh kegiatan yang kadang seakan hendak melahap mobil kami. Tatkala kami  tiba di sebuah jembatan menuju Moradabad, saya melihat seorang lelaki  mendorong gerobak mendaki bukit terjal, dipenuhi muatan begitu besar  sehingga menutupi pandangannya. Saya pun teringat pada pencerahan yang  dialami Ehrlich saat berada dalam taksinya beberapa dasawarsa yang lalu.  Orang, orang, orang, orang—ya. Namun juga perasaan meluap-luap tentang  energi, perjuangan, aspirasi.
Pertemuan tahunan Asosiasi Kependudukan Amerika (Population Association  of America – PAA) adalah salah satu pertemuan besar yang dihadiri para  ahli demografi dunia. Pada pertemuan April yang lalu, ledakan penduduk  dunia tidak tercantum pada agendanya. “Masalah tersebut sudah menjadi  agak usang,” ujar HervĂ© Le Bras. Para ahli demografi pada umumnya yakin  bahwa pada paruh kedua abad ini kita akan mengakhiri salah satu era unik  dalam sejarah—ledakan penduduk—dan memasuki era lain yang  memperlihatkan populasi yang stabil atau bahkan menyusut.
Namun, apakah jumlah manusia akan terlalu banyak? Pada pertemuan PAA di  hotel Dallas Hyatt Regency, saya ketahui bahwa jumlah penduduk Bumi  dapat pas jika dijejalkan ke dalam negara bagian Texas, jika Texas  dihuni sepadat New York. Pembandingan tersebut membuat saya mulai  merenung seperti Leeuwenhoek. Jika pada 2045 terdapat sembilan miliar  manusia menghuni enam benua yang layak huni, kerapatan penduduk dunia  akan sedikit dari setengah kerapatan penduduk Prancis saat ini. Prancis  jarang dipandang sebagai tempat yang sangat tidak nyaman. Apakah dunia  akan menjadi tempat yang sangat tidak nyaman kelak pada saat itu?
Sebagian kawasan dunia mungkin sekali begitulah keadaannya; sebagian  sudah sangat tidak nyaman saat ini. Sekarang terdapat 21 kota yang  penduduknya lebih dari sepuluh juta orang, dan pada 2050 akan lebih  banyak lagi. Delhi menampung ratusan ribu pendatang setiap tahun dan  mereka tiba tanpa menyadari bahwa “belum ada program terencana untuk  pengadaan air, saluran pembuangan, atau hunian,” kata Shailaja Chandra.  Dhaka di Bangladesh dan Kinshasa di Republik Demokratik Kongo  berpenduduk 40 kali lebih banyak jika dibandingkan pada 1950.  Perkampungan kumuh di sana dipenuhi orang miskin sengsara yang melarikan  diri dari kemiskinan yang lebih parah di pedesaan.
Dewasa ini banyak negara menghadapi tekanan populasi yang tampaknya tak  tertangani di mata kita seperti India di mata Ehrlich pada 1966.  Bangladesh adalah salah satu negara yang paling padat penduduknya di  dunia dan salah satu yang paling terancam oleh perubahan iklim;  gelombang pasang air laut dapat menyapu jutaan warga Bangladesh. Rwanda  mengalami hal yang sama mencemaskannya. Dalam bukunya Collapse, Jared  Diamond mengemukakan bahwa pembantaian sekitar 800.000 warga Rwanda pada  1994 adalah akibat beberapa faktor, bukan hanya kebencian etnik, tetapi  juga kelebihan penduduk—terlalu banyak petani membagi luas lahan yang  sama menjadi luas yang semakin lama semakin sempit sehingga tidak cukup  untuk menopang kehidupan keluarga. “Masa depan terburuk yang diramalkan  Malthus di suatu saat nanti mungkin terbukti,” begitu Diamond  menyimpulkan.
Banyak orang yang secara masuk akal merasa cemas bahwa pada akhirnya  Malthus akan terbukti benar di tingkat global—bahwa Bumi tidak akan  sanggup memberi makan sembilan miliar orang. Lester Brown, pendiri  Lembaga Worldwatch dan sekarang kepala Lembaga Kebijakan Bumi di  Washington, yakin bahwa keterbatasan pangan dapat menyebabkan runtuhnya  peradaban dunia. Umat manusia mempertahankan kehidupannya dengan  menghabiskan sumber daya alam, begitu dikemukakan Brown, dengan mengikis  tanah dan menghabiskan persediaan air tanah lebih cepat daripada  pemulihannya kembali. Semua itu akan segera menyusutkan produksi pangan.  Rencana cadangan Brown untuk menyelamatkan peradaban akan menempatkan  seluruh dunia dalam keadaan siap tempur, seperti A.S. setelah peristiwa  Pearl Harbor, untuk menstabilkan iklim dan memperbaiki kerusakan  lingkungan. “Memperbaiki kelemahan program keluarga berencana mungkin  merupakan perkara paling mendesak dalam agenda dunia,” begitu tulis  Brown, sehingga jika kita tidak berhasil mempertahankan penduduk dunia  pada angka delapan miliar dengan menurunkan angka kelahiran, angka  kematianlah yang mungkin bisa meningkat.
Angka delapan miliar sesuai dengan perkiraan terendah PBB untuk 2050.  Dalam skenario yang optimistis itu, Bangladesh memiliki angka kelahiran  1,35 pada 2050, tetapi pada saat itu kelak negara tersebut masih  memiliki penduduk 25 juta lebih banyak dibandingkan sekarang. Angka  kelahiran di Rwanda juga turun sampai di bawah tingkat keseimbangan,  tetapi jumlah penduduknya tetap bertambah hingga mencapai dua kali lipat  sebelum masa pembantaian besar-besaran dulu. Jika ini skenario yang  optimistis, mungkin begitu pikir kita, masa depan memang sangat suram.
Akan tetapi, kita juga bisa menarik kesimpulan yang berbeda—bahwa  terpaku pada angka populasi saja bukanlah cara terbaik untuk menghadapi  masa depan. Orang yang tinggal berdesak-desakan di kawasan kumuh  memerlukan bantuan dan masalah yang harus dipecahkan adalah kemiskinan  serta tidak tersedianya prasarana, bukan kelebihan penduduk. Menyediakan  layanan keluarga berencana bagi kaum perempuan memang bagus—“Salah satu  strategi yang dapat berdampak paling besar terhadap kehidupan  perempuan,” begitu Chandra menyikapinya. Namun, program pengendalian  penduduk yang paling gencar pun tidak akan bisa menyelamatkan Bangladesh  dari gelombang pasang air laut, Rwanda dari pembantaian lain, atau kita  semua dari masalah lingkungan yang amat parah.
Pemanasan global adalah contoh yang bagus. Emisi karbon dari bahan bakar  fosil tumbuh paling pesat di China berkat kemajuan ekonominya yang  berkelanjutan, tetapi angka kelahiran di negara itu sudah di bawah angka  keseimbangan; tidak banyak upaya lagi yang dapat dilakukan untuk  mengendalikan populasi. Di Afrika sub-Sahara yang jadi tempat  berlangsungnya pertumbuhan populasi tercepat, emisi per orang hanya  segelintir persen dari yang terjadi di AS—jadi, pengendalian populasi  tidak akan terlalu berdampak pada iklim. Brian O’Neill dari Pusat  Penelitian Atmosfer Nasional sudah menghitung bahwa jika populasi  mencapai 7,4 miliar pada 2050 alih-alih 8,9 miliar, emisi akan berkurang  15 persen. “Orang yang mengatakan bahwa masalah satu-satunya adalah  populasi itu keliru,” ujar Joel Cohen. “Populasi bahkan bukan faktor  yang dominan.” Untuk menghentikan pemanasan global, kita semua harus  beralih dari bahan bakar fosil ke energi alternatif—menjadi sebesar apa  pun populasi kelak.
Tentu saja jumlah orang memang berperan penting. Namun, cara kita  melahap sumber daya justru jauh lebih penting. Sebagian di antara kita  meninggalkan dampak jauh lebih besar daripada orang lain. Tantangan  utama bagi masa depan manusia dan planet ini adalah bagaimana kita bisa  mengentaskan lebih banyak orang dari kemiskinan—penghuni kawasan kumuh  di Delhi, kebersintasan para petani di Rwanda—sambil mengurangi dampak  yang kita hasilkan masing-masing terhadap planet ini.
Bank Dunia meramalkan bahwa pada 2030 lebih dari satu miliar orang di  dunia ketiga akan menjadi bagian dari “kelas menengah global,” bertambah  dari hanya 400 juta pada 2005. Itu bagus. Namun, akan menjadi beban  bagi Bumi jika orang-orang itu menyantap daging dan mengendarai mobil  bensin dengan laju kecepatan yang sama dengan yang dilakukan warga AS  saat ini. Sudah terlambat menghalangi kelahiran kelas menengah baru  2030; belum terlambat mengubah cara mereka dan kita semua dalam  menghasilkan dan melahap pangan dan energi. “Menyantap lebih sedikit  daging tampaknya lebih masuk akal bagi saya daripada berkata, ‘Kurangi  jumlah anak!’” ujar Le Bras.
Berapa banyakkah orang yang dapat didukung Bumi? Untuk menjawabnya,  Cohen menghabiskan waktu bertahun-tahun mengkaji semua penelitian, mulai  dari penelitian Leeuwenhoek dan seterusnya. “Saya menulis buku dengan  perkiraan dapat menjawab pertanyaan itu,” ujarnya. “Ternyata pertanyaan  itu tidak bisa dijawab dengan pengetahuan kita saat ini.” Alih-alih,  yang didapatinya adalah “angka politik yang rentangnya lebar, yang  dimaksudkan untuk membujuk orang” untuk mencapai kesimpulan yang  dikehendaki.
Selama berabad-abad kelompok yang pesimistis tentang populasi  melontarkan peringatan tentang akhir dunia yang ditujukan kepada  kelompok optimis sejati. Kelompok yang terakhir ini benar-benar yakin  bahwa umat manusia akan berhasil mencari jalan untuk menanggulangi dan  bahkan memperbaiki nasibnya. Sampai sejauh ini, sejarah pada umumnya  berpihak kepada kelompok optimis, tetapi sejarah bukan panduan yang  meyakinkan tentang masa depan. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Ilmu  pengetahuan tidak dapat meramalkan hasil pertarungan Manusia vs. Bumi,  sebab semua faktanya—akan berapa banyak jumlah kita dan bagaimana cara  kita hidup—bergantung pada berbagai pilihan yang masih harus kita ambil  dan berbagai gagasan yang masih harus kita gagas. Misalnya kita mungkin  saja, kata Cohen, “memastikan bahwa semua anak berkecukupan gizi  sehingga bisa bersekolah dan berpendidikan cukup untuk memecahkan  masalah yang akan mereka hadapi di saat mereka sudah dewasa.” Hal itu  dapat mengubah masa depan secara signifikan.
Perdebatan tersebut sudah ada pada sosok Pendeta Thomas Malthus sejak  paham kecemasan tentang populasi mencuat. Menjelang akhir bukunya, yang  di dalamnya dirumuskan hukum kaku yang menyatakan bahwa populasi yang  tidak terkendali dapat menyebabkan wabah kelaparan, Malthus menyatakan  hukum itu amat bagus: Hal itu menyebabkan kita bertindak. Hal itu  menyebabkan kita menaklukkan dunia. Umat manusia, begitu tulis Malthus,  bersifat “lembam, lamban, dan tidak suka bekerja, kecuali jika  terpaksa.” Namun kebutuhan, katanya, memberikan harapan:
“Upaya yang menurut kita perlu dilakukan, untuk menopang diri sendiri  atau keluarga, sering membangunkan kekuatan yang kalau tidak dibangunkan  bisa selamanya tersembunyi, dan sudah diketahui bahwa situasi baru dan  yang luar biasa pada umumnya menciptakan pemikiran yang cukup baik untuk  menghadapi kesulitan yang melibatkan diri kita.”
Tujuh miliar manusia sebentar lagi, sembilan miliar pada 2045. Mari kita  harapkan bahwa Malthus benar bahwa kita memang panjang akal




0 komentar:
Posting Komentar